Prinsip hidupnya tak pernah berubah sampai akhir hayatnya. Penerima Bintang Mahaputra Utama III (1973) ini, menurut puteranya Dr Oerip Setiono, meninggal setelah tiga tahun terakhir terbaring di rumah kediamannya, Jl Cimandiri 26, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimakamkan di TPU Menteng Pulo setelah sebelumnya disemayamkan di aula FKUI Salemba, Jakarta. Beliau meninggalkan tujuh anak, 13 cucu dan delapan buyut. Isterinya, Suprapti Sutejo, sudah terlebih dahulu meninggal pada November 1983. Penerima penghargaan sebagai Tokoh Pendidikan Nasional dari IKIP Jakarta (UNJ) pada tahun 1978, ini selain sebagai perintis dan pendiri Fakultas Psikologi UI juga ikut mendirikan Universitas Andalas, Universitas Sriwijaya, Universitas Airlangga dan Universitas Hasanuddin.
Mantan Direktur Rumah Sakit Jiwa Gloegoer, Medan (1937-1938) ini, sangat termotivasi dalam merintis dan mendirikan fakultas psikologi, karena sebagai psikiater beliau menemukan banyak masalah yang tidak bisa dipecahkan oleh psikiater. Dalam bidang profesi kedokteran, beliau menerima penghargaan Wahidin Sodiro Hoesodo dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada tahun 1989. Sebagai seorang ahli psikologi, tahun 1961, beliau juga pernah memimpin sekitar lima puluh mahasiswa Fakultas Psikologi UI mengunjungi penduduk yang terkena gusuran pembuatan Istana Olahraga Senayan dan dipindahkan ke daerah Tebet dan Penjaringan. Mereka berdialog dengan penduduk tergusur itu. Kunjungan ini, menjadi awal pogram mahasiswa turun ke lapangan (masyarakat). Bidang studi psikologi pun makin menarik perhatian banyak orang. Masa-masa psikologi mengalami kesulitan (saat psikologi hanyalah sebuah jurusan dalam lingkungan FKUI), seperti sudah terlupakan. Saat itu, kata Slamet dalam pidato ketika menerima penghargaan bintang jasa Mahaputra Utama III (1973), beliau merasa ibarat seorang yang sedang berdiri seorang diri di tepi pasir yang gersang tanpa pedoman untuk melintasinya sambil mengajak saudara-saudara mengembangkan disiplin ilmu yang baru ini.
Conny Semiawan, mantan rektor IKIP Jakarta yang juga murid dan sempat menjadi asisten Slamet Iman dalam menguji mahasiswa, mengenang Slamet sebagai orang yang sangat tertib, teliti dan juga memiliki wawasan yang sangat luas, selalu berfikir filosofis meskipun bukan ahli filsafat. Dalam menguji mahasiswa, Slamet selalu menegaskan jangan menanyakan apa yang kamu ketahui, tetapi usahakan untuk bertanya apa yang dipahami mahasiswa. Dengan demikian dialog akan terjadi dan mahasiswa dapat mengaktualisasikan dirinya. Menurut Conny Semiawan, Slamet adalah tokoh pendidikan yang berani. Beliau adalah orang pertama mengusulkan perlunya satu standar bagi semua jenjang pendidikan di Indonesia. Usul yang beliau lontarkan sepanjang tahun 1979-1981 ini membuat heboh dunia pendidikan. Beliau juga orang yang mengkritik keras minimnya gaji guru yang beliau sebut dapat merusak dunia pendidikan. Beliau membandingkan gaji guru jaman Belanda yang dua kali lipat daripada gaji dokter. Sehingga guru tak perlu mencari tambahan dan dunia pendidikan tidak dicampurbaurkan dengan bisnis. Beliau juga mempunyai andil besar dalam merintis program penerimaan mahasiswa melalui UMPTN.
Ketika Slamet Iman menjadi Ketua Komisi Pembaruan Pendidikan Nasional (KPPN) pada tahun 1979-1980, terjadi booming lulusan SMA yang ingin masuk Perguruan Tinggi Negeri. Sebagai contoh, UI yang kapasitasnya sekitar 800 mahasiswa tapi jumlah pendaftar 4000 orang. Maka melalui komite yang diketuainya dibentuklah satu sistem penerimaan calon mahasiswa yang sejak 1979 sudah berlangsung dengan nama yang sekian kali berubah mulai dari Skalu, Proyek Perintis, Sipenmaru (Sistim Penerimaan Mahasiswa Baru) dan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Pria yang dikenal terus terang dan sempat menjadi Pejabat Rektor UI ini, meskipun sudah mengakhiri jabatan sebagai Ketua Komisi Pembaruan Sistem Pendidikan 1980, beliau masih sempat mengurusi penerimaan calon mahasiswa pada tahun 1981.
Tangan
dingin Guru Besar Fakultas Kedokteran dan Fakultas Psikologi, Universitas
Indonesia (1950-1953) serta mantan Staf Ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
dan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (1968-1973) ini, juga sudah sangat banyak melahirkan
tokoh pendidikan di Indonesia, diantaranya adalah Conny Semiawan, Fuad Hassan,
Sujudi, Wardiman Djojonegoro, Mahar Mardjono dan Saparinah Sadli. Para mantan
mahasiswanya ini sangat menghormati dan mengagumi gurunya ini. Mereka
mengenangnya sebagai guru yang sangat akrab dan suka menularkan pengalaman.
Salah satunya adalah ucapan beliau dalam acara peringatan 100 tahun Albert
Einstein di ruang Rektorat UI, 1979: ”Ciri
orang pandai, hal yang ruwet bisa disederhanakan, sebaliknya orang bodoh akan
meruwetkan soal sederhana”.
Sebagai dokter ahli penyakit saraf dan jiwa, pada tanggal 1 Januari 1979 beliau memasang iklan menutup praktek untuk selamanya. Beliau menyadari dirinya sudah tua. Selain itu, Slamet Iman juga dikenal sebagai seorang penulis terkemuka. Beliau sering menulis kolom di berbagai media dan juga menulis buku. Beberapa bukunya yang terkenal adalah Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Sinar Hudaya, Jakarta (1977); The Social Background For Psychotheraphy in Indonesia; Psychiatry dan Masyarakat; Kesejahteraan Jiwa; School Health in the Community; Sekolah Sebagai Sumber Penyakit atau Sumber Kesehatan; Dasar Stadium Generale, Pendidikan Universitas Atas Dasar Teknik dan Keilmuwan, Dasar-dasar Pokok Pendidikan; dan Pendidikan Indonesia dari Masa ke Masa yang diterbitkan oleh CV Haji Masagung, Jakarta, 1987.
Slamet
Iman santoso dilahirkan dalam keadaan terbungkus ari-ari. Ketika itu, semua
penduduk desa heran dan membicarakannya. Beliau dianggap sebagai bayi ajaib.
Dipercaya bayi yang lahir terbungkus ari-ari itu kelak akan mempunyai
kelebihan. Sangat jarang kelahiran bayi terbungkus. Saat bayi terbungkus itu
lahir, orang-orang yang melihatnya heran dan bertanya: “Mana bayinya, mana bayinya?” Untunglah tidak semua penduduk desa
panik terheran-heran. Seorang tetangga, Nyonya Tambi, isteri seorang petani
Indo, membantu membukakan bungkus ari-ari yang membungkusnya. Bayi itupun
menangis dan lahir dengan selamat. Maka kata selamat (menjadi Slamet) dijadikan
nama jabang bayi yang baru lahir itu. Beliau memang terlahir dari keluarga
berpendidikan pada zamannya. Ayahnya seorang Asisten Wedana Banjaran. Di bawah
pengasuhan ayahnya, Slamet menikmati masa kecilnya dengan penanaman nilai-nilai
keramahan, saling tolong-menolong dan gotong-royong. Beliau pun berulangkali,
kepada banyak orang, mengisahkan berbagai pengalaman masa kecil yang yang amat
berkesan baginya. Salah satu pengalaman itu adalah ketika di suatu saat beliau dan anak lain sedang sibuk mencari
ucen-ucen, buah tanaman liar yang sangat manis dan biru warnanya. Eh, tiba-tiba
Slamet terpeleset, hampir masuk selokan irigasi. Namun beliau beruntung, karena
anjing Pak Lurah melompat antara Slamet dan tebing selokan tadi, sehingga
beliau tertolong. Beliau dan kawan-kawanya menceriterakan peristiwa itu kepada
Ayah-Ibu Slamet. Sang Ayah dengan spontan mengharuskannya memberi makan si
Macan (nama anjing Pak Lurah tadi) itu.
Masa
kecil dan remaja anak sulung dari dua bersaudara ini sangat bahagia. Beliau
ikut kakeknya di Magelang, Jawa Tengah. Saking nakalnya, beliau pernah dijuluki
teman-temannya ‘setan alas’. ”Saya senang
main ketapel, berburu anjing dan burung,” katanya, sebagaimana dikutip
dalam Buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986. Bahkan beliau mengaku
sekali-kali mengganggu orang. Namun masa kecil dan remajanya diisi dengan
mengecap pendidikan pada jaman kolonial Belanda di Magelang, mulai dari
Europeesche Lagere School (ELS), Hollandsch Inlandsche School (HIS (1912-1920)
dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO (1920-1923). Kemudian melanjut ke
MAS-B, Yogyakarta (1923-1926); Indische Arts, Stovia (1926-1932); dan
Geneeskunde School of Arts, Batavia Sentrum (1932-1934). Beliau pun terkesan
sangat mengagungkan pendidikan masa kolonial Belanda itu. Walaupun beliau
menyadari kondisi pendidikan ketika itu sangat berbeda dibanding setelah
Indonesia merdeka. Beliau mengenang, pada zamannya bersekolah dulu, sangat
diasakan betapa guru sangat begitu memperhatikan murid dan bersatu dengan orang
tua murid. Hal yang sudah jarang terjadi saat ini. Masuknya Jepang, menurutnya,
memberi andil atas awut-awutannya pendidikan di negeri ini. Terasa sekali
suasana pendidikan zaman Belanda yang terkesan akrabnya hubungan orang
tua-murid-guru, tiba-tiba hilang lenyap, diganti dengan jaman pendidikan Jepang
yang mulai awut-awutan. Ironisnya, kondisi ini terus berlangsung sampai
sekarang. Beliau memberi beberapa bukti. Di antaranya, sekarang ada guru yang
mengasih tahu bahan ujian yang akan diuji kepada murid.
Profesor
emeritus Fakultas Psikologi UI ini juga dikenal sebagi tokoh yang jahil dan
sering dinilai aneh. Beliau sendiri mengibaratkan diri sebagai Abunawas.
Karena, menurutnya, Abunawas itu tokoh penuh akal. Jiwa Abunawas itu pun banyak
menyemangati hidupnya.Dalam buku, Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986,
diceritakan sekali waktu beliau melihat mobil seorang pejabat UI diparkir salah
dengan posisi miring di halaman kampus UI. Beliau mengambil kertas dan
menulisnya dengan spidol: “Barangsiapa
yang parkir mobil miring, otaknya juga miring”. Dilain waktu, ketika Bung
Karno menanyakan pendapatnya mengenai semboyan “Gantungkanlah cita-citamu setinggi langit”, Slamet dengan tenang
menjawab “Nggak, malah saya gantungkan di
cantelan baju. Kalau usang kan bisa diganti”.
Ucap beliau. Beliau juga
pernah menyatakan terheran-heran karena ada orang yang dipinjami buku,
mengembalikan buku itu dengan utuh. “Baru
sekarang saya temukan orang yang saya pinjami buku mengembalikannya dengan
utuh,” katanya. Beliau bilang, “hanya
orang bodoh yang meminjamkan bukunya kepada orang lain, dan orang yang
mengembalikan buku pinjaman pun adalah orang gila”.
Kehidupan
Slamet juga dikenal dengan kehidupan yang selalu ceria yang diwarnai canda
memberi andil besar atas usianya yang lanjut (97 tahun), tetapi beliau juga
dikenal sebagai orang yang tak terlalu senang olah raga, termasuk olah raga
pagi. Sambil bercanda, beliau berkata ”Pagi-pagi itu kan hawanya segar. Kok dipakai
buat berkeringat, lebih baik dipakai untuk tidur”. Candanya.
Semoga
pemikiran dan perjuangan beliau dapat memberi inspirasi…!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar